Wednesday, December 14, 2011

Ukuran Daya Saing Koperasi dan UKM


REVIEW JURNAL

Nama Kelompok:
Nuryana                                               25210226
Shinta Nur Amalia                            26210523
Yusuf  Fadillah                                   28210800
Yoga Wicaksana                                 28210647
Crishadi Juliantoro                           21210630

UKURAN DAYA SAING KOPERASI DAN UKM
Abstrak
Tujuan utama dari tulisan ini adalah untuk mengidentifikasi variabel-variabel atau indikatorindikator yang tepat untuk digunakan sebagai pengukur daya saing UKM dan Koperasi di Indonesia. Beberapa hasil penting dari tulisan ini adalah sebagai berikut. Pertama, daya saing sebuah perusahaan tercerminkan dari daya saing dari produk yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut. Sedangkan, daya saing dari perusahaan tersebut ditentukan oleh banyak faktor, tujuh diantaranya yang sangat penting adalah: keahlian atau tingkat pendidikan pekerja, keahlian pengusaha, ketersediaan modal, sistem organisasi dan manajemen yang baik (sesuai kebutuhan bisnis),ketersediaan teknologi, ketersediaan informasi, dan ketersediaan input-input lainnya seperti enerji, bahan baku, dll. Kedua, indikator-indikator utama daya saing produk adalah antara lain pangsa ekspor, pangsa pasar luar negeri dan dalam negeri, nilai/harga produk, dan kepuasan consumen; sedangkan indikator-indikator utama daya saing perusahaan adalah antara lain, profit, sumber daya manusia (SDM),  pengeluaran R&D, dan jenis teknologi yang digunakan. Ketiga, pendorong utama daya saing perusahaan adalah SDM  (pekerja dan pengusaha), dan prasyarat utama untuk meningkatan daya saing perusahaan adalah pendidikan, modal, teknologi, informasi, dan input krusial lainnya. Tulisan ini merekomendasikan dua hal utama. Pertama, bantuan yang diberikan pemerintah selama ini harus berubah orientasinya dan sepenuhnya tertuju  pada upaya peningkatan kemampuan teknologi produksi, manajemen dan pemasaran dengan fokus utama pada capacity building dengan inovasi sebagai motor penggerak utama. .Kedua, pendekatan strategi untuk mendukung kebijakan tersebut adalah clustering
I.1 Latar Belakang
Dari perspektif dunia, sudah diakui bahwa usaha kecil dan menengah (UKM) memainkan suatu peran yang sangat vital di dalam pembangunan dan pertumbuhan  ekonomi, tidak hanya di negara-negara sedang berkembang (NSB) tetapi juga di negara-negara maju (NM). Di NM, UKM  sangat penting tidak saja karena kelompok usaha tersebut menyerap paling banyak tenaga kerja tetapi juga di  banyak negara kontribusinya terhadap pembentukan atau pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) paling besar dibandingkan kontribusi dari usaha besar (UB). Di dalam disertasinya Piper (1997), misalnya, dikatakan bahwa sebanyak 12 juta orang atau sekitar 63,2 persen dari jumlah tenaga kerja di Amerika Serikat (AS) bekerja di 350.000 perusahaan yangmengerjakan kurang dari 500 orang, yang di negara tersebut dianggap sebagai UKM. Menurut Aharoni (1994), jumlah UKM sedikit di atas 99% dari jumlah unit usaha di negara adidaya tersebut. Perusahaan-perusahaan tersebut merupakan inti dari basis industri di AS (Piper, 1997). UKM juga sangat penting di banyak negara di Eropa, khususnya Eropa Barat. Di Belanda, misalnya, jumlah UKM sekitar  95% dari jumlah perusahaan di negara kicir angin tersebut (Bijmolt dan Zwart, 1994).  Namun, dilihat dari sumbangannya terhadap pembentukan PDB dan ekspor non-migas, khususnya produk-produk manufaktur, peran UKM di NSB masih relatif rendah, dan ini sebenarnya perbedaan yang menyolot dengan UKM di NM. Pertanyaannya evaluasi yang komprehensif terhadap kinerja koperasi di dalam perekonomian nasional sangat sulit. Namun demikian, dari sekian banyak tulisan di media masa, ada satu gambaran  yang jelas bahwa kinerja koperasi di Indonesia selama ini memang relatif buruk.Di sisi lain, cukup banyak literatur mengenai kinerja koperasi di NM, khususnya di AS dan sejumlah negara di Eropa yang semuanya menunjukkan kinerjanya sangat bagus. Bahkan banyak koperasi di misalnya AS yang memiliki omset sangat besar dan merupakan pesaing besar terhadap perusahaan non-koperasi.
II.Kerangka Pikiran
II.1 Identifikasi karakteristik koperasi dan UKM yang berdaya saing yang diinginkan;
Daya saing adalah sebuah konsep yang cukup ruwet. Tidak ada satu indikator-pun yang bisa digunakan untuk mengukur daya saing, yang memang sangat sulit untuk diukur (Markovics, 2005). Namun demikian, daya saing adalah suatu konsep yang umum digunakan di dalam  ekonomi, yang biasanya merujuk kepada komitmen terhadap persaingan pasar dalam kasus perusahaan-perusahaan dan keberhasilan dalam persaingan internasional dalam kasus negara-negara. Dalam dua dekade terakhir, seiring dengan semakin mengglobalnya perekonomian dunia dan persaingan bebas, daya saing telah menjadi satu dari konsep-konsep kunci bagi perusahaanperusahaan, negara-negara, dan wilayah-wilayah untuk bisa berhasil dalam partisipasinya di dalam globalisasi dan perdagangan bebas dunia, seperti yang dikatakan berikut ini  on micro level the concept of competitiveness means the skill of position gain and self-maintainment in the market competition among companies, each other’s competitors and – in respect of macro economy – among national economies (Lengyel 2005, dikutip di Markovics, 2005)   Dengan memakai konsep daya saing, Man dkk. (2002) membuat suatu model konsepsual untuk menghubungkan karakteristik-karakteristik dari manager  atau pemilik UKM dan kinerja perusahaan jangka panjang. Model konsepsual untuk daya  saing UKM tersebut terdiri dari  empat elemen: skop daya saing perusahaan, kapabilitas organisasi dari perusahaan, kompetensi pengusaha/pemilik usaha, dan kinerja.
Hubungan antara kompetensi dan tiga elemen lainnya itu merupakan inti dari model tersebut, dan hubungan itu dapat dihipotesakan kedalam tigatugas prinsip pengusaha:
(a) membentuk skop daya saing
(b) menciptakan kapabilitas organisasi
(c) menetapkan tujuan-tujuan dan mencapainya.
Menurut studi ini, daya saing memiliki karakteristik, yakni potensi, proses. Selain tiga karakteristik tersebut, daya saing juga dicirikan oleh orientasi jangka panjang, kontrolabilitas,  relativitas, dan dinamika. Selain itu, studi ini menunjukkan bahwa ada tiga aspek penting yang mempengaruhi daya saing UKM, yakni:
(1) faktor-faktor internal perusahaan;
(2) lingkungan eksternal; dan
(3) pengaruh dari pengusaha/pemilik usaha.
Selanjutnya, di dalam penelitian  ini, pengaruh dari pengusaha tersebut di tangani dengan pendekatan kompetensi dari sebuah proses atau perspektif perilaku. Dengan memakai hasil studi tersebut sebagai salah satu input, tulisan ini menyusun suatu kerangka pemikiran mengenai daya saing sebuah UKM sebagai berikut (Gambar 1). Daya saing sebuah perusahaan tercerminkan dari daya saing dari produk yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut. Dalam gilirannya, daya saing dari perusahaan tersebut ditentukan oleh banyak faktor, tujuh diantaranya yang sangat penting adalah: keahlian atau tingkat pendidikan pekerja, keahlian pengusaha, ketersediaan modal, sistem organisasi dan manajemen yang baik (sesuai kebutuhan bisnis), ketersediaan teknologi, ketersediaan informasi, dan ketersediaan input-input lainnya seperti enerji, bahan baku, dll.  Dua faktor pertama tersebut adalah aspek sumber daya manusia (SDM), yang mana, keahlian pekerja tidak hanya dalam teknik produksi (antara lan disain produk dan proses produksi), tetapi juga teknik pemasaran dan dalam penelitian dan pengembangan (R&D). Sedang keahlian pengusaha terutama adalah wawasan bisnis, dan yang dimaksud di sini adalah wawasan mengenai bisnisnyadan juga lingkungan eksternalnya.pengusaha yang luas juga sangat penting bagi inovasi, dan bukan lagi rahasia umum bahwa inovasi merupakan kunci utama daya saing. Bahkan banyak literatur menyatakan bahwa banyak faktor yang menentukan kemampuan UKM melakukan inovasi, diantaranya adalah  kreativitas pengusaha, dan  yang terakhir ini, pada gilirannya, ditentukan oleh wawasannya mengenai bisnis yang ditekuninnya (Shahid, 2007).

Sebagai ilustrasi empiris, data BPS dapat memberikan gambaran mengenai tingkat pendidikan formal (yang umum digunakan sebagai indikator tingkat keahlian) dari pengusaha di UKM di sektor industri manufaktur (Tabel 1). Dapat dilihat bahwa jumlah pengusaha UKM yang memiliki diploma universitas hanya sekitar 2,20 persen; walaupun tingkat ini bervariasi antara usaha kecil (UK) dan usaha menengah (UM). Ini bisa merupakan salah satu penyebab rendahnya kinerja atau daya saing UKM di Indonesia.

ketersediaan atau penguasaan teknologi. Hipotesanya adalah sebagai berikut: perusahaan dengan daya saing tinggi adalah perusahaan yang memiliki/menguasai teknologi yang paling baik (yang biasanya adalah teknologi terakhir yang ada) di dalam bidangnya. Aspek ini bisa diidentifikasi  dengan sejumlah indikator, diantaranya yang umum digunakan dan lebih bersifat proxy adalah tingkat produktivitas. Perusahaan berdaya saing tinggi biasanya juga merupakan perusahaan yang produktif
Sudah banyak literatur mengenai UKM di NSB yang menunjukkan bahwa salah satu ciri dari UKM adalah rendahnya tingkat produktivitas di kelompok usaha tersebut.Data BPS mengenai industri manufaktur menurut skala usaha juga menunjukkan hal yang sama: tingkat produktivitas tenaga kerja cenderung meningkat menurut skala usaha. Seperti yang dapat dilihat di Tabel 2, rasio output terhadap tenaga kerja di UK (termasuk usaha mikro) jauh lebih rendah dibandingkan di UM dan UB

. Perusahaan yang
mampu melakukan inovasi, dalam produk, proses produksi, organisasi, manajemen, sistem pemasaran, dan
aspek-aspek bisnis lainnya, dapat dipastikan adalah perusahaan yang memiliki daya saing yang tinggi. Namun tidak gampang mengidentifikasi secara langsung perusahaan-perusahaan yang melakukan inovasi, apalagi inovasi dalam proses produksi atau marketing. Oleh karena itu ada sejumlah alat ukur yang dapat digunakan, dua diantaranya yang umum dipakai karena mudah menerapkannya selama ada data, adalah jumlah sertifikat menyangkut inovasi (misalnya ISO) yang dimiliki oleh sebuah perusahaan, dan pengeluaran R&D. di Indonesia sama sekali tidak menerapkan sistem organisasi dan manajemen yang umum diterapkan di dalam dunia bisnis modern. Banyak UK di mana pengusaha mengerjakan semua kegiatan: produksi, pengadaan bahan baku, pemasaran, dan administrasi, dan tidak menerapkan pembukuan, atau kalau ya, dengan cara yang primitif.
II.2 Identifikasi Ukuran-ukuran Daya Saing bagi Koperasi dan UKM
Seperti telah dibahas sebelumnya (lihat Gambar  1), dalam mengukur daya saing koperasi dan UKM, harus dibedakan antara daya saing dari produk dan daya saing dari perusahaan. Tentu, daya saing dari produk terkait erat (atau mencerminkan) tingkat daya saing dari perusahaan yang menghasilkan produk tersebut. Indikator-indikator yang umum digunakan untuk mengukur daya saing sebuah produk dijabarkan di Tabel 4. Ini adalah indikator-indikator dasar, dan selanjutnya dari sini bisa dihitung sejumlah rasio yang umum digunakan di dalam penelitian-penelitian empiris mengenai  daya saing di dalam perdagangan  internasional, seperti misalnya revealed comparative advantage (RCA), constant market share, similarity index, complementarity index, export product dynamics, dan banyak lagi. Menurut  Long (2003), kemampuan SMEs untuk melakukan ekspor juga merupakan salah satu faktor yang krusial dalam mengukur daya saing globalnya.


II.3 Prasyarat dan Strategi Pencapaian Daya Saing Yang Tinggi
Di kelompok usaha ini, pengusaha akan selalu berperan penting, karena pada umumnya pengusaha atau pemilik usaha merupakan penggerak utama perusahaan. Ini artinya, kreativitas, spirit entrepreneurship dan jiwa inovatif dari pengusaha yang didukung oleh keahlian dari para pekerjanya adalah sumber utama peningkatan daya saing UKM.
Upaya peningkatan kemampuan produksi termasuk peningkatan kemampuan teknologi dan kemampuan disain. Sedangkan upaya peningkatan kemampuan pemasaran termasuk promosi, distribusi dan pelayanan  pasca penjualan. Kedua penekanan ini sangat penting, dan pada umumnya UKM di Indonesia kalah bersaing dengan UB atau UKM dari NM karena kurang memperhatikan atau kurang mampu di dalam dua bidang ini. UKM di Indonesia, paling tidak sebagian besar, bukan saja lemah dalam 20teknologi tetapi juga lemah atau kurang memberikan pertahian dalam strategi pemasaran. Padahal, banyak kasus, menunjukkan bahwa sebuah produk yang dilihat dari aspek teknologinya biasa-biasa saja, namun sangat laku hanya karena pemasarannya yang agresif
Salah satu yang umum disarankan di dalam literatur mengenai UKM adalah mengembangkan UKM yang kompetitif dengan pendekatan  clustering. Kerjasama internal yang erat antar sesama UKM di dalam sebuah klaster (atau sentra industri) dalam pemasaran, pengadaan bahan baku, R&D, dll. dan kerjasama eksternal antara klaster dengan pihak-pihak lain di luar klaster seperti  perbankan, lembaga R&D/universitas, BDS (business development services), departemen pemerintah, UB (misalnya lewat subcontracting), kadin, asosiasi bisnis, dll. akan menghasilkan keuntungan aglomorasi karena kerjasama seperti itu menghasilkan efisiensi yang tinggi, dibandingkan UKM yang beroperasi sendiri-sendiri. Sedangkan intervensi langsung adalah seperti yang telah banyak dilakukan pemerintah sejak Orde Baru hingga saat ini dalam upaya membantu UKM, mulai dari pemberian skim-skim kredit khusus hingga berbagai macam pelatihan.
III. Rekomendasi Kebijakan dan Program
Sejak era Orde Baru hingga sekarang sudah banyak sekali upaya pemerintah membantu perkembangan UKM dan koperasi dalam bentuk beragam program, mulai dari pemberian kredit murah hingga bantuan teknis. untuk meningkatkan daya saing global dari UKM dan koperasi di Indonesia, ketiga butir di atas harus berubah. Bantuan yang diberikan oleh pemerintah harus sepenuhnya  tertuju pada upaya peningkatan kemampuan teknologi’pengetahuan dalam produksi, manajemen dan pemasaran. Fokus dari bantuan harus pada capacity building dengan inovasi (dalam produksi, manajemen dan pemasaran) sebagai motor penggerak utama.  Untuk mendukung perubahan strategi ini, maka arah kebijakan pengembangan UKM dan koperasi di masa depan yang tujuan utamanya adalah meningkatkan daya saing dari UKM dan koperasi adalah seperti yang dijabarkan di Tabel 1.1

Kesimpulan
Jadi dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa lemahnya kinerja UKM dan koperasi di NSB pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya adalah karena daya saing dari kedua kelompok usaha tersebut relatif rendah dibandingkan UB. Sedangkan alam era globalisasi dan perdagangan bebas saat ini dan di masa depan daya saing menjadi sesuatu yang sangat penting. Tanpa daya saing yang baik, tidak mustahil bahwa UKM maupun koperasi di Indonesia suatu saat akan lenyap. Dengan alasan ini, maka kebijakan promosi UKM di banyak negara, baik kebijakan nasional maupun kebijakan dari lembaga-lembaga donor seperti Bank Dunia (atau Bank Pembangunan Asia untuk wilayah Asia) dan UNDP, dalam beberapa tahun belakangan ini semakin fokus pada  peningkatan daya saing. Bahkan di APEC, kelompok kerja khusus UKM saat ini punya banyak program untuk membantu upaya UKM di negaranegara anggota untuk meningkatkan  daya saing mereka, terutama di  bidang-bidang seperti pengembangan sumber daya manusia (SDM), perluasan akses ke keuangan dan informasi, dan pengembangan teknologi.  Tujuan utama dari tulisan ini adalah untuk mengidentifikasi variabel-variabel atau indikator-indikator yang tepat untuk digunakan sebagai pengukur daya saing UKM dan Koperasi di Indonesia
Daftar Pustaka
Aharoni, Y. (1994), “How Small Firms Can Achieve Competitive Advantages in an Interdependent World”, dalam T. Agmon dan R. Drobbnick (ed.), Small Firms in Global Competition, New York: Oxford University Press.
Albaladejo M. dan Romijn, H. (2000), “Assessment of competitiveness and technological performance of small UK firms”, laporan mengenai the targeted socio-economic research  programme on the EU project SMEs in Europe and East Asia: competition, collaboration and lessons for policy support. European Union, DGXII.  \
Altenburg, T., Hillebrand, W, dan Meyer-Stamer, J. (1997), “Policies for building systemic  competitiveness: conceptual framework and case studies of Republic of Korea, Brazil, Mexico and Thailand”, makalah dipresentasikan dalam Seminar, “New Trends and Challenges in Industrial Policy”, UNIDO, Vienna, 16-17 October 1977.
APEC (2006), “A Research on the Innovation Promoting Policy for SMEs in APEC” Survey and Case Studies”, Desember, APEC SME Innovation Center, Korea Technology and Information Promotion Agency for SMEs, Seoul.
Badrinath, R. (1997), “The SME and the Global Market Place: An Analysis of Competitiveness Constraints”, Geneva: UNCTAD/WTO International Trade Centre.
Barnes, J. dan Morris, M. (1999), “Improving operational competitiveness through firm-level clustering: a case study of the KwaZulu-Natal benchmarking club”, makalah dipresentasikan dalam Konferensi ILO, “Responding to the challenges of globalisation: local and regional initiatives to promote quality employment”, Bologna: 19-21 May.
Bell, M dan Albu, M (1999) “Knowledge Systems and Technological Dynamism in Industrial Clusters in Developing Countries”, World Development, 27(9):1715-1734.
Berry, A. dan Levy, B. (1999), “Technical, Marketing and Financial Support for Indonesia’s Small and Medium Industrial Exporters”, dalam Levy, B. Berry, A. dan Nugent, J.B., Fulfilling the Export Potential of Small and Medium Firms, Boston, MA: Kluwer Academic Publishers.

No comments: