Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyuarakan ketidak setujuan terhadap wacana merger operator seluler Flexi dan Esia. Bila sampai terjadi, akan tercipta monopoli di pasar fixed wireless acces (FWA) berbasis Code Division Multiple Access (CDMA).
Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Abdurrahman Abdullah mengatakan, merger akan merugikan konsumen karena penyedia layanan menjadi penguasa yang sangat menentukan harga. "Itu kan (merger Flexi-Esia) masih wacana. Jangan sampai benar-benar merger, nanti monopoli. Biarkan saja," katanya kepada wartawan usai Rapat Kerja Anggaran dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Senin (20/9).
Ditemui usai rapat yang sama, Wakil Ketua KPPU, Anna Maria Tri Anggraeni mengatakan, dia mengakui pihaknya menemukan indikasi akan terjadi monopoli bila merger kedua operator itu terwujud. Menurut Anna, diluar dua operator yang akan merger, pangsa pasar dua operator sejenis lainnya di bawah 20 persen. Sehingga, penggabungan dua operator besar itu dapat menguasai pasar sekitar 80-90 persen.
Saat ini terdapat empat operator yang menyediakan layanan fixed wireless acces (FWA), yakni Flexi (Telkom), Esia (Bakrie Telecom), StarOne (Indosat) dan Hepi (Mobile-8). Pelanggan Telkom mencapai 16 juta, Esia 10 juta, sementara StarOne dan Hepi masih dibawah 4 juta. Penggabungan Flexi dan Esia menjadikan sinergi dua perusahaan ini bakal menguasai pasar FWA hingga 90 persen.
Selain menyediakan layanan FWA, Mobile 8 juga memiliki layanan seluler dengan produk Fren. Mobile 8 telah melakukan merger dengan Smart (Smart Telecom). Sinergi dua operator CDMA ini keduanya melahirkan produk SmartFren. Merger keduanya dinilai tidak menganggu pasar seluler, karena pangsa pasarnya relatif kecil. Pangsa pasar kedua produk yang di merger ini masih dibawah angka 5 persen.
Anna mengatakan, pihaknya akan memeriksa tingkat konsentrasi pasar untuk memperkuat indikasi terjadinya monopoli. Dia menjelaskan, tingkat konsentrasi pasar disebut tinggi bila Herfindahl-Hirschman Index (HHI) melebihi nilai 1.800. Walau demikian, jika HHI melebihi ambang batas, tidak pula serta merta berarti hukum merger keduanya menjadi haram. "Kita akan lihat, apakah merger akan menyebabkan entry barier untuk pemain baru. Atau justru akan menimbulkan efisiensi," ujarnya.
Selain perkara peluang terciptanya monopoli, ada masalah lain yang menghadang wacana merger Flexi-Esia. Ketua KPPU, Tresna Soemadi, mengatakan Telkom maupun BTel belum melaporkan rencana merger mereka. Padahal, keduanya telah melampaui ambang batas wajib lapor rencana merger yaitu Rp 2,5 triliun untuk total aset dan Rp 5 triliun untuk total omzet.
Regulasi tersebut termuat dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57/2010 tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan yang mengatur agar perusahaan yang bergabung melapor pada KPPU. PP merger tersebut secara langsung mengatur bagi perusahaan yang sudah melakukan merger. Namun, bagi perusahaan yang akan melakukan merger juga disarankan melapor bila potensi bisnisnya besar. Sebab, jika kelak merger melanggar aturan, bisa dibatalkan dan menimbulkan biaya yang tinggi.
Tresna melanjutkan, meski diperkirakan bisa kuasai pasar hingga 90 persen, namun KPPU belum bisa mengatakan bahwa rencana merger tersebut harus dibatalkan. Menurut dia, KPPU harus memeriksa aspek lain di luar penguasaan pangsa pasar. "Kami sarankan melapor karena ini menyangkut hajat hidup orang banyak," ujarnya.
shinta nur amalia
1eb07
26210523
No comments:
Post a Comment