Indutrialisasi
Industri adalah bidang matapencaharian yang menggunakan ketrampilan dan ketekunan kerja (bahasa Inggris: industrious) dan penggunaan alat-alat di bidang pengolahan hasil-hasil bumi dan distribusinya sebagai dasarnya. Maka industri umumnya dikenal sebagai mata rantai selanjutnya dari usaha-usaha mencukupi kebutuhan (ekonomi) yang berhubungan dengan bumi, yaitu sesudah pertanian, perkebunan dan pertambangan yang berhubungan erat dengan tanah. Kedudukan industri semakin jauh dari tanah, yang merupakan basis ekonomi, budaya dan politik.
Industri berawal dari pekerjaan tukang atau juru. Sesudah matapencaharian hidup berpindah-pindah sebagai pemetik hasil bumi, pemburu dan nelayan di zaman purba, manusia tinggal menetap, membangun rumah dan mengolah tanah dengan bertani dan berkebun serta beternak. Kebutuhan mereka berkembang misalnya untuk mendapatkan alat pemetik hasil bumi, alat berburu, alat menangkap ikan, alat bertani, berkebun, alat untuk menambang sesuatu, bahkan alat untuk berperang serta alat-alat rumah tangga. Para tukang dan juru timbul sebagai sumber alat-alat dan barang-barang yang diperlukan itu. Dari situ mulailah berkembang kerajinan dan pertukangan yang menghasilkan barang-barang kebutuhan. Untuk menjadi pengrajin dan tukang yang baik diadakan pola pendidikan magang, dan untuk menjaga mutu hasil kerajinan dan pertukangan di Eropa dibentuk berbagai gilda (perhimpunan tukang dan juru sebagai cikal bakal berbagai asosiasi sekarang).
Pertambangan besi dan baja mengalami kemajuan pesat pada abad pertengahan. Selanjutnya pertambangan bahan bakar seperti batubara, minyak bumi dan gas maju pesat pula. Kedua hal itu memacu kemajuan teknologi permesinan, dimulai dengan penemuan mesin uap yang selanjutnya membuka jalan pada pembuatan dan perdagangan barang secara besar-besaran dan massal pada akhir abad 18 dan awal abad 19. Mulanya timbul pabrik-pabrik tekstil (Lille dan Manchester) dan kereta api, lalu industri baja (Essen) dan galangan kapal, pabrik mobil (Detroit), pabrik alumunium. Dari kebutuhan akan pewarnaan dalam pabrik-pabrik tekstil berkembang industri kimia dan farmasi. Terjadilah Revolusi Industri.
Sejak itu gelombang industrialisasi berupa pendirian pabrik-pabrik produksi barang secara massal, pemanfaatan tenaga buruh, dengan cepat melanda seluruh dunia, berbenturan dengan upaya tradisional di bidang pertanian (agrikultur). Sejak itu timbul berbagai penggolongan ragam industri.
Cabang-cabang industri
Berikut adalah berbagai industri yang ada di Indonesia:
- Makanan dan minuman
- Tembakau
- Tekstil
- Pakaian jadi
- Kulit dan barang dari kulit
- Kayu, barang dari kayu, dan anyaman
- Kertas dan barang dari kertas
- Penerbitan, percetakan, dan reproduksi
- Batu bara, minyak dan gas bumi, dan bahan bakar dari nuklir
- Kimia dan barang-barang dari bahan kimia
- Karet dan barang-barang dari plastik
- Barang galian bukan logam
- Logam dasar
- Barang-barang dari logam dan peralatannya
- Mesin dan perlengkapannya
- Peralatan kantor, akuntansi, dan pengolahan data
- Mesin listrik lainnya dan perlengkapannya
- Radio, televisi, dan peralatan komunikasi
- Peralatan kedokteran, alat ukur, navigasi, optik, dan jam
- Kendaraan bermotor
- Alat angkutan lainnya
- Furniture dan industri pengolahan lainnya
Klasifikasi berdasarkan SK Menteri Perindustrian No.19/M/I/1986
- Industri kimia dasar : misalnya industri semen, obat-obatan, kertas, pupuk, dsb
- Industri mesin dan logam dasar : misalnya industri pesawat terbang, kendaraan bermotor, tekstil, dll
- Industri kecil : industri roti, kompor minyak, makanan ringan, es, minyak goreng curah, dll
- Aneka industri : industri pakaian, industri makanan dan minuman, dan lain-lain.
Industrialisasi di Indonesia Sudah pada Tahap Deindustrialisasi
Sejak krisis moneter 1998, industrialisasi di Indonesia telah mengalami kemunduran atau deindustrialisasi. Indikatornya, prosentase utilitas industri terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun, jika pada tahun 1996 masih sebesar 82,10 persen, maka pada tahun 2002 sudah mencapai angka 63,33 persen.
Sampai akhir tahun 2004 lalu, pertumbuhan ekonomi kita belum dapat kembali kepada pertumbuhan sebelum krisis. Demikian juga kontribusi industri pengolahan terhadap PDB masih jauh dari apa yang pernah kita capai sebelum terjadinya krisis, juga prosentase penyerapan tenaga kerja disubsektor industri pengolahan, terus menurun sejak terjadinya krisis. Keadaan ini sangat terasa bagi para pelaku bisnis dalam industri pengolahan, sehingga gejala dalam masyarakat dengan meningkatnya pemakaian produk luar negeri sudah sangat mengkhawatirkan.
industri tekstil dan produk tekstil Indonesia yang hampir tidak berdaya menghadapi serbuan barang impor. Demikian juga dengan pertumbuhan pasar barang elektronik (low end) telah dimanfaatkan oleh industri negara-negara lain. Dalam kedua produk itu kita perlu mengamankan pasar dalam negeri dan melihat ke depan dengan mengadakan adjusment melalui restrukturisasi dan modernisasi industri-industri itu agar bisa bersaing di pasar global.
ada empat faktor yang harus dilakukan, pertama menyangkut kelembagaan, dimana innovation system menjadi sangat penting. Sistem inovasi nasional ini merupakan jaringan institusi pemerintah dan swasta yang melakukan impor, mengubah, mengembangkan dan menyebarluaskan teknologi.
Kedua, faktor ideologi atau techno-ideology, dimana kita perlu menentukan sikap dalam menentukan pilihan untuk mengembangkan teknologinya, apakah menganut technonationalism, technoglobalism, atau technohybrids.
Faktor ketiga, soal kemampuan di dalam menentukan hal-hal yang berkait dengan penting (important) dan mendesak (urgent) terhadap banyak pilihan yang harus diambil. Ini karena kemampuan keuangan dan modal negara sangat terbatas. Faktor keempat menyangkut soal leadership, dimana pemimpin dan para elit politik dituntut harus mengembalikan kepercayaan (trust) di dalam memutuskan kebijakan-kebijakannya.
Dampak Industrialisasi Di Indonesia
Pengalaman beberapa negara berkembang khususnya negara-negara yang gandrung memakai teknologi dalam industri yang ditransfer dari negara-negara maju (core industry) untuk pembangunan ekonominya seringkali berakibat pada terjadinya distorsi tujuan. Keadaan ini terjadi karena aspek-aspek dasar dari manfaat teknologi bukannya dinikmati oleh negara importir, tetapi memakmurkan negara pengekpor atau pembuat teknologi. Negara pengadopsi hanya menjadi komsumen dan ladang pembuangan produk teknologi karena tingginya tingkat ketergantungan akan suplai berbagai jenis produk teknologi dan industri dari negara maju Alasan umum yang digunakan oleh negara-negara berkembang dalam mengadopsi teknologi (iptek) dan industri, searah dengan pemikiran Alfin Toffler maupun John Naisbitt yang meyebutkan bahwa untuk masuk dalam era globalisasi dalam ekonomi dan era informasi harus melewati gelombang agraris dan industrialis. Hal ini didukung oleh itikad pelaku pembangunan di negara-negara untuk beranjak dari satu tahapan pembangunan ke tahapan pembangunan berikutnya.
Pada dewasa ini yang menjadi bahan perdebatan adalah bagaimana menyusun suatu pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Semakin meningkatnya populasi manusia mengakibatkan tingkat konsumsi produk dan energi meningkat juga. Permasalahan ini ditambah dengan ketergantungan penggunaan energi dan bahan baku yang tidak dapat diperbarui. Pada awal perkembangan pembangunan, industri dibangun sebagai suatu unit proses yang tersendiri, terpisah dengan industri lain dan lingkungan. Proses industri ini menghasilkan produk, produk samping dan limbah yang dibuang ke lingkungan.Adanya sejumlah limbah yang dihasilkan dari proses produksi, mengharuskan industri menambah investasi untuk memasang unit tambahan untuk mengolah limbah hasil proses sebelum dibuang ke lingkungan. Pengendalian pencemaran lingkungan dengan cara pengolahan limbah (pendekatan end of pipe) menjadi sangat mahal dan tidak dapat menyelesaikan permasalahan ketika jumlah industri semakin banyak, daya dukung alam semakin terbatas, dan sumber daya alam semakin menipis.
Persoalannya kemudian, pada era dewasa ini, apa pun sektor usaha yang dibangkitkan oleh sebuah bangsa maupun kota harus mampu siap bersaing pada tingkat global. Walaupun sebenarnya apa yang disebut dengan globalisasi baru dapat dikatakan benar-benar hadir dihadapan kita ketika kita tidak lagi dapat mengatakan adanya produk-produk, teknologi, korporasi, dan industri-industri nasional. Dan, aset utama yang masih tersisa dari suatu bangsa adalah keahlian dan wawasan rakyatnya, yang pada gilirannya akan mengungkapkan kemampuan suatu bangsa dalam membangun keunggulan organisasi produksi dan organisasi dunia kerjanya.
Tetapi akibat tindakan penyesuaian yang harus dipenuhi dalam memenuhi permintaan akan berbagai jenis sumber daya (resources), agar proses industri dapat menghasilkan berbagai produk yang dibutuhkan oleh manusia, seringkali harus mengorbankan ekologi dan lingkungan hidup manusia. Hal ini dapat kita lihat dari pesatnya perkembangan berbagai industri yang dibangun dalam rangka peningkatan pendapatan (devisa) negara dan pemenuhan berbagai produk yang dibutuhkan oleh manusia.
Teknologi memungkinkan negara-negara tropis (terutama negara berkembang) untuk memanfaatkan kekayaan hutan alamnya dalam rangka meningkatkan sumber devisa negara dan berbagai pembiayaan pembangunan, tetapi akibat yang ditimbulkannya merusak hutan tropis sekaligus berbagai jenis tanaman berkhasiat obat dan beragam jenis fauna yang langka.
Gejala memanasnya bola bumi akibat efek rumah kaca (greenhouse effect) akibat menipisnya lapisan ozone, menciutnya luas hutan tropis, dan meluasnya gurun, serta melumernnya lapisan es di Kutub Utara dan Selatan Bumi dapat dijadikan sebagai indikasi dari terjadinya pencemaran lingkungan kerena penggunaan energi dan berbagai bahan kimia secara tidak seimbang (Toruan, dalam Jakob Oetama, 1990: 16 - 20).
Kasus Indonesia Indonesia memang negara “late corner” dalam proses industrialisasi di kawasan Pasifik, dan dibandingkan beberapa negara di kawasan ini kemampuan teknologinya juga masih terbelakang.
Terlepas dari berbagai keberhasilan pembangunan yang disumbangkan oleh teknologi dan sektor indusri di Indonesia, sesungguhnya telah terjadi kemerosotan sumber daya alam dan peningkatan pencemaran lingkungan, khususnya pada kota-kota yang sedang berkembang seperti Gresik, Surabaya, Jakarta, bandung Lhoksumawe, Medan, dan sebagainya. Bahkan hampir seluruh daerah di Jawa telah ikut mengalami peningkatan suhu udara, sehingga banyak penduduk yang merasakan kegerahan walaupun di daerah tersebut tergolong berhawa sejuk dan tidak pesat industrinya.
Masalah pencemaran lingkungan hidup, secara teknis telah didefinisikan dalam UU No. 4 Tahun 1982, yakni masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan dan atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia atau proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat lagi berfungsi sesuai peruntukannya.
Dari definisi yang panjang tersebut, terdapat tiga unsur dalam pencemaran, yaitu: sumber perubahan oleh kegiatan manusia atau proses alam, bentuk perubahannya adalah berubahnya konsentrasi suatu bahan (hidup/mati) pada lingkungan, dan merosotnya fungsi lingkungan dalam menunjang kehidupan.
Pencemaran dapat diklasifikasikan dalam bermacam-macam bentuk menurut pola pengelompokannya. Berkaitan dengan itu, Amsyari (Sudjana dan Burhan (ed.), 1996: 102), mengelompokkan pecemaran alas dasar: a).bahan pencemar yang menghasilkan bentuk pencemaran biologis, kimiawi, fisik, dan budaya, b). pengelompokan menurut medium lingkungan menghasilkan bentuk pencemaran udara, air, tanah, makanan, dan sosial, c). pengelompokan menurut sifat sumber menghasilkan pencemaran dalam bentuk primer dan sekunder.
Bahaya De-Industrialisasi Mengancam Indonesia
Nampaknya bahaya De-Industrialisasi di Indonesia tidak diragukan lagi. Ancaman itu sebenarnya bukan datang setahun atau dua tahun belakangan ini, namun sudah berlangsung sejak awal mula pemulihan krisis finansial di Asia yang terjadi pada periode 1997-2000.
Pada saat itu, dikarenakan penurunan tingkat pendapatan penduduk, dan industri masih banyak yang kolaps, serta ketakutan akan masih terjadinya gonjang-ganjing politik plus kerusuhan, banyak diantara kita yang mulai memilih melakukan import barang murah melalui RRC ataupun Taiwan (khusus Taiwan lebih banyak piranti komputer).
Bersamaan dengan itu industri di RRC justru sedang mulai tumbuh berkembang. Tingginya biaya produksi di sejumlah negara barat termasuk Amerika, membuat banyak perusahaan Eropa dan juga Amerika melakukan outsourcing ke pabrikan-pabrikan OEM besar di RRC. Dari mulai Motorola, Nokia, Nike, Adidas, Reebok dan lain sebagainya.
Sementara di negara lain seperti di Korea dan Jepang justru melakukan relokasi usaha dan mengalihkan produksi mereka ke pabrik-pabrik relokasi mereka yang ada di RRC dan Vietnam. Padahal dibandingkan dengan RRC, biaya tenaga kerja kita tidak jauh berbeda dan lumayan bersaing. Namun faktor kestabilan politik, dan kurang bersaingnya infrastruktur membuat orang lebih memilih melakukan pemusatan industri di RRC.
Sebagai akibatnya, industri di RRC maju pesat, dan mulai bermunculan industri “low end” yang bersifat menarik secara harga sebagai dampak dari banyaknya tenaga trampil dan ahli yang bermunculan karena kemajuan industri di sana.
Hal ini tentu saja menimbulkan dampak pasar dalam negeri RRC penuh sesak oleh berbagai jenis barang produksi. Produk-produk yang tidak terserap oleh pasar dalam negeri ini yang akhirnya banyak sekali diekspor ke negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Karena pendapatan rakyat RRC perkapita tumbuh pesat, yang menyebabkan selera dan gaya hidup mereka bergeser dari barang murah menjadi barang lux, akhirnya produk-produk murah meriah itu tidak lagi laku di pasaran dalam negeri RRC dan diekspor ke Indonesia serta berbagai negara asia lainnya.
Celakanya lagi pemerintah kita cenderung tidak tegas melarang ekspor produk hasil bumi dan tambang kita ke luar negeri. Semestinya segala investasi asing menyangkut pertambangan dan produk hasil bumi lainnya haruslah untuk pemenuhan kebutuhan pasar dalam negeri, dan harus pula dibangun industri pengolahan dari hulu sampai hilirnya.
Akibatnya sektor industri kita menjadi mati akibat kalah dalam persaingan perdagangan bebas, dan negara-negara luar sangat menikmati keuntungan dari perdagangan komoditas Indonesia yang murah meriah karena masih dalam bentuk murah bukan olahan jadi.
Lihat saja betapa Singapura begitu berjaya dan memiliki bargaining power yang sangat kuat karena kita hanya bisa mengekspor minyak mentah sementara turunan olahannya kita terima jadi dari mereka. Hal yang sama juga terjadi dengan industri pupuk, di mana kita sibuk mengekspor gas ke China dan negara tetangga, tapi pabrik pupuk kita mati kekurangan pasokan gas.
Sampai sejauh mana kita mau bersikap seperti ini terus, membiarkan bangsa lain memperbudak negara kita dan mengeruk sebanyak-banyaknya hasil bumi dari dalam negeri. Ambil contoh lihat saja, industri telekomunikasi kita sudah dikuasai oleh asing, belum lagi industri taktis lainnya. Begitu industri kita jatuh ke tangan asing, maka negara kita hanya dijadikan pasar saja, digenjot gaya hidup konsumtifnya. Perbankan asing pun dibiarkan merajalela dengan alasan profesionalisme pengelolaan, padahal bank lokal pun sebenarnya mampu bersaing secara profesional asalkan pengawasan perbankan benar-benar baik dan didukung oleh undang-undang yang baik pula serta adanya ketegasan dalam penindakan.
Semoga saja para menteri kita yang baru bisa bekerja lebih keras lagi dalam membenahi kekacauan yang telah terjadi sejak beberapa tahun silam, dan bisa membangkitkan kembali industri di tanah air, karena jika tidak maka kejatuhan Indonesia hanya tinggal menunggu waktu saja.
http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2010/02/24/bahaya-de-industrialisasi-mengancam-indonesia/
http://id.wikipedia.org/wiki/Industri
http://ekoarianto.students.uii.ac.id/2009/03/25/dampak-industrialisasi-di-indonesia/
http://ww.its.ac.id/berita.php?nomer=1890
Shinta Nur Amalia
1eb07
26210523
No comments:
Post a Comment